MENYEMBUHKAN PENYAKIT HATI
Penyakit hati tidak bisa sembuh hanya dengan belajar ilmu tasawuf (yang memang salah satu tujuannya agar menyucikan dari penyakit hati), apalagi dengan belajar ilmu fikih, ilmu kalam, atau segala ilmu lainnya. Yang ada, makin tinggi ilmu-ilmu tersebut, maka makin akut penyakit hatinya sebab merasa dirinya semakin berkualitas dengan itu semua.
Ketika mendengar ayat atau hadis tentang penyucian hati, orang yang hatinya kotor takkan merasa ada yang salah dengan dirinya, justru dia akan mengoleksi ayat dan hadis itu sebagai alat untuk mengoreksi orang lain yang menurutnya tak sebaik dirinya. Semua nasehat dan teori percuma bagi hati yang kotor.
Penyakit hati hanya bisa sembuh dengan riyadhah, aksi nyata untuk melawan jenis penyakit yang diderita, bukan sekedar dengan mendengar nasehat dan teori keilmuan. Misalnya:
- Bila penyakit hatinya adalah menyombongkan kekayaan, maka harus membiasakan diri memakai baju lusuh, kendaraan jelek, dan pergi ke tempat berkumpulnya banyak orang hingga dikira miskin dan diperlakukan sebagai orang miskin. Kalau masih ada perasaan tidak rela, keberatan dan ingin menjelaskan bahwa sebenarnya dirinya kaya, maka artinya penyakitnya tidak sembuh.
- Bila penyakitnya adalah menyombongkan ilmu, maka harus membiasakan diri tampil seperti orang bodoh, duduk di belakang di tempat orang-orang bodoh yang tak didengarkan siapa pun, mendengarkan nasehat orang lain yang jauh lebih bodoh darinya dan tidak protes ketika penasehatnya salah. Bila masih ada rasa ingin menampakkan keilmuannya, merasa bahwa dirinya jauh di atas orang di sekitarnya, artinya penyakitnya belum sembuh.
- Bila penyakitnya adalah iri hati dan hasud pada seseorang, maka agar sembuh harus membiasakan diri memuji kelebihan orang yang dia iri/hasudi tersebut. Kalau perlu beri dia hadiah, apresiasi dan dukungan agar orang tersebut semakin sukses dan melampaui dirinya sendiri. Bila ini tidak dapat dilakukan atau dilakukan tetapi dengan kepura-puraan dan masih timbul sakit hati, maka penyakitnya belum sembuh.
Karena itulah dalam dunia tasawuf ditekankan pentingnya mursyid (pempimbing rohani) yang bisa meresepkan riyadhah yang pas sesuai dengan penyakit hati setiap murid. Tentu mencari mursyid juga tidak mudah sebab dia sendiri haruslah sosok yang sudah melewati serangkaian panjang riyadhah. Kalau sekedar memberi nasehat dan mengutip kalam ulama sih gampang, tapi itu tidak cukup menjadikan seseorang sebagai mursyid. Di depan mursyid yang tepat, seorang murid harus memosisikan dirinya bagaikan mayat yang diapakan saja mau dan tidak protes terhadap riyadhah yang diresepkan. Kalau tidak, tentu terapi pembersihan penyakit hati tidak akan sukses.
Alkisah ada seseorang yang terdidik dengan penampilan mewah dan berwibawa datang mengunjungi seorang mursyid. Dia berniat untuk berguru sehingga bisa menaikkan kualitas dirinya dengan bimbingan Sang Mursyid. Akan tetapi mursyid tersebut menolaknya mentah-mentah seraya berkata: "Kamu takkan sanggup menjadi muridku". Si calon murid bersikeras memohon agar diterima dan dibimbing. Akhirnya Sang Mursyid berkata: "Baiklah, kalau begitu cukur jenggotmu itu, pakai baju compang-camping, lalu pergilah ke pasar itu sambil membawa permen. Kemudian berteriaklah di sana panggil anak-anak kecil lalu suruh mereka melemparmu dengan kerikil. Siapa yang melakukannya, maka kamu beri beri mereka permen". Mendengar itu, si calon murid yang berwibawa itu merasa tidak siap. Itulah gambaran beratnya riyadhah, aksi nyata pembersihan hati.
Bisakah riyadhah seperti di atas dilakukan tanpa bimbingan mursyid? Bisa, hanya saja hasilnya kurang terukur sebab tingginya subjektifitas. Sama saja dengan dokter, bila sakit tetap butuh perawatan dokter lain, seorang yang ingin menempuh riyadhah pembersihan hati idealnya tetap membutuhkan pandangan orang lain, meskipun dia sendiri sudah tahu semua teorinya.
✍🏻 Ustadz DR. Abdul Wahhab Ahmad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar